A.
Pengertian
Inersia
uteri adalah kelainan his yang kekuatannya tidak adekuat untuk melakukan
pembukaan serviks atau mendorong janin keluar (www.yahoo.com). Disini kekuatan
his lemah dan frekuensinya jarang. Sering dijumpai pada penderita dengan
keadaan umum kurang baik seperti anemia, uterus yang terlalu teregang misalnya
akibat hidramnion atau kehamilan kembar atau makrosomia, grandemultipara atau
primipara, serta para penderita dengan keadaan emosi kurang baik. Dapat terjadi
pada kala pembukaan serviks, fase laten atau fase aktif maupun pada kala
pengeluaran insersia uteri di bagi atas 2 kekuatan.
1.
Insersia uteri primer
Terjadi
pada permulaan fase laten, sejak awal telah terjadi his yang tidak adekuat
sehingga sering sulit untuk memastikan apakah penderita telah memasuki keadaan
inpartu atau belum.
2.
Insersia uteri sekunder
Terjadi
pada fase aktif kala I dan kala II, permulaan his, baik kemudian pada keadaan
selanjutnya terdapat gangguan/kelainan.
B.
Etiologi
Menurut
Rustam Mochtar (1998) sebab-sebab inersia uteri adalah :
1.
Kelainan his sering dijumpai pada primipara
2.
Faktor herediter, emosi dan ketakutan
3.
Salah pimpinan persalinan dan obat-obat penenang
4.
Bagian terbawah janin tidak berhubungan rapat dengan segmen bawah rahim, ini
dijumpai pada kesalahan-kesalahan letak janin dan disproporsi sevalopelvik
5.
Kelainan uterus, misalnya uterus bikornis unikolis
6.
Kehamilan postmatur (postdatism)
7.
Penderita dengan keadaan umum kurang baik seperti anemia
8.
Uterus yang terlalu teregang misalnya hidramnion atau kehamilan kembar atau
makrosomia
C.
Komplikasi yang mungkin terjadi
Inersia
uteri dapat menyebabkan persalinan akan berlangsung lama dengan akibat-akibat
terhadap ibu dan janin (infeksi, kehabisan tenaga, dehidrasi, dll)
D.
Diagnosis
Untuk
mendiagnosa inersia uteri memerlukan pengalaman dan pengawasan yang teliti
terhadap persalinan. Kontraksi uterus yang disertai rasa nyeri tidak cukup
untuk membuat diagnosis bahwa persalinan sudah mulai. Untuk sampai kepada
kesimpulan ini diperlukan kenyataan bahwa sebagai akibat kontraksi itu terjadi.
Pada fase laten diagnosis akan lebih sulit, tetapi bila sebelumnya telah ada
kontraksi (his) yang kuat dan lama, maka diagnosis inersia uteri sekunder akan
lebih mudah.
F.
Penanganan
Penanganan
inersia uteri dengan :
1.
Keadaan umum penderita harus diperbaiki. Gizi selama kehamilan harus
diperhatikan
2.
Penderita dipersiapkan menghadapi persalinan dan dijelaskan tentang
kemungkinan-kemungkinan yang ada.
3.
Pada inersia primer, setelah dipastikan penderita masuk dalam persalinan,
evaluasi kemajuan persalinan 12 jam, kemudian dengan periksa dalam. Jika
pembukaan kurang dari 3 cm. porsio tebal lebih dari 1 cm, penderita
diistirahatkan, berikan sedativa sehingga pasien dapat tidur, mungkin masih
dalam “false labour”. Jika setelah 12 jam berikutnya tetap ada his tanpa ada
kemajuan persalinan, ketuban dipecahkan dan his tanpa ada kemajuan persalinan,
ketuban dipecahkan dan his diperbaiki dengan infus pitosin, perlu diingat bahwa
persalinan harus diselesaikan dalam waktu 24 jam setelah ketuban pecah agar
prognosis janin tetap baik.
4.
Pada inersia uteri sekunder, dalam fase aktif, harus segera dilakukan :
a.
Penilaian cermat apakah ada disproporsi sevalopelvik dengan pelvimentri klinik
atau radiologi. Bila CPD maka persalinan segera diakhiri dengan sectio cesarea
b.
Bila tidak ada CPD, ketuban dipecahkan dan diberi pitocin infus
c.
Bila kemajuan persalinan kembali 2 jam setelah his baik. Bila tidak ada
kemajuan, persalinan diakhiri dengan sectio cesarea
d.
Pada akhir kala I atau pada kala II bila syarat ekstraksi vakum atau cunam
dipenuhi, maka persalinan dapat segera diakhiri dengan bantuan alat tersebut.
Hampir
50% kelainan his pada fase aktif disebabkan atau dihubungkan dengan adanya CPD,
sisanya disebabkan oleh faktor lain seperti kelainan posisi janin, pemberian
obat sedativa atau relaksan terhadap otot uterus dan sebagainya